Toad Jumping Up and Down

Rabu, 21 Desember 2016

ASAL USUL DESA MOJOREMBUN KALIORI - REMBANG


Dari cerita turun temurun dan ditegaskan dari sumber Kitab Serat Kembang Joyo seorang Adipati Bumi Perdikan Pati Pesantenan sekitar tahun 1467 M.

Setelah Kademangan Mojosemi runtuh dan berhasil dikalahkannya pemberontakan Wedana Yuyu Rumpung dari Kademangan Pamaguan dan menyatunya wilayah brang wetan dan brang kulon, bersatu dalam wilayah Pati Pesantenan, sedang diwilayah brang wetan (termasuk wilayah Rembang) dijadikan satu kekuasaan Kadipaten Pati Pesantenan.

Wilayah yang tadinya brang wetan, setelah tewasnya Yuyu Rumpung menjadi wilayah Pembesar Kedalon yang bernama Ki Singo Nyidro termasuk juga wilayah yang dialiri sungai besar yang bernama Sungai Moro Dalon ( muara kedalon) disepanjang aliran menuju kedalon termasuk wilayah Ki Singo Nyidro.

Kearah barat laut dari Desa Kedalon ada sebuah desa yang bernama Desa Klori. Di desa itu hidup seorang janda yang bernama Nyi Ori (terkenal dengan nama Mbok Rondo Klori). Mbok Rondo Klori sehari – harinya bekerja sebagai pengrajin “Medel” (menter=mewarnai kain). Untuk menunjang pekerjaan itu, beliau membutuhkan aliran air (sungai) untuk mencuci pakaian – pakaian yang telah diwarnai sehingga lerak/malam yang menempel pada kain akan bisa tercuci dengan sempurna.

Setiap hari Mbok Rondo Klori selalu pergi ke sungai Moro Dalon untuk mencuci hasil pekerjaannya, hal itu mengundang perhatian Ki Singo Nyidro karena Mbok Rondo Klori adalah wanita yang berparas cantik. Setiap hari Ki Singo Nyidro selalu menggoda, sehingga membuat risau hati Mbok Rondo. Dan pada akhirnya diutarakan hal tersebut kepada kakaknya yang bernama Ki Onggo ( seorang tokoh pemimpin dari Desa Ronggo) . Karena Ki Onggo dan ki Singo Nyidro berhubungan baik, maka untuk menghindari percekcokan antara keduanya Mbok Rondo diperintahkan untuk menemui adiknya yaitu Ki Dresi. Akhirnya tiga bersaudara itu bersepakat untuk membuat sungai bersama rakyatnya kan bersedia menggali dari hulu.

Dan mulailah penggalian itu dari hulu ke hilir. Tetapi keanehan terjadi setelah akan bertemunya hulu dan hilir yaitu trhalang oleh randu besar yang dikenal dengan nama Randu Gumbala yang bercabang – cabang dan mempunyai pangkal terbagi – bagi seperti gunting. Pohon randu itu sulit ditebang dan dirobohkan, semua orang yang ada seakan menyerah terhadap kekuatan pohon randu itu. Dan akhirnya teringatlah Ki Gede Dresi yang mempunyai seorang sahabat baik yaitu seorang Empu yang berdiam diri di Desa Sambiyan yang bernama Ki Cengkang Sambiyan. Ditemuilah Ki Cengkang Sambiyan untuk dimintai tolong menyelesaikan masalah Randu Gumbala sembari membawa air besalen yaitu air yang digunakan untuk merendam keris  dan tombak saat beliau membuat hasil – hasil karyanya yaitu  benda – benda pusaka.

Sesampainya ditempat Randu Gumbala disiramlah pohon raksasa itu dan terjadilah keanehan yaitu melepuhnya pohon Radu Gumbala dan tumbanglah pohon raksasa itu diirng oleh jeritan suara – suara di angkasa yang menakutkan. Setelah robohnya pohon itu dilanjutkan penggalian sehingga bertemulah antara hulu dan hilir yang menjadikan galian sungai sempurna. Oleh Ki Onggo sungai itu diberi nama Sungai Randu Gunting, nama itu berdasarkan kejadian yang terjadi yaitu robohnya pohon randu gunting yang menghalangi penggalian sungai.

Karena adanya sungai Randu Gunting secara otomatis memisahkan Desa Kedalon dan Desa Gunung Sari (Klumpit dan Sawo) dengan wilayah sebelah timur sungai. Kurang lebih 100 tahun berlalu, sungai randu gunting menjadi besar dan menyebabkan banjir bandang yang menggenangi wlayah sekitarnya. Orang orang yang tinggal diwilayah tersebut mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Setelah banjir surut ada yang kembali ke wlayah asal dan ada juga yang menetap di tempat yang tinggi tersebut. Karena wilayah sebelah timur sungai tidak ada yang mengakui, sehingga rakyat yang berada di tempat itu terbengkalai. Dan pada akhirnya warga – warga yang berada di tempat itu bermusyawarah, karena  belum mempunyai balai desa maka mereka berkumpul di pojok desa. Dalam musyawarah tersebut, mereka menamai wilayah itu dengan nama Mojok Rembuk yang berarti mereka yang berada di pojok untuk berembuk (bermusyawarah).  Setelah itu, wilayah yang terpecah itu disatukan menjadi Desa Mojok Rembuk yang terdiri  dari 3 dukuh yaitu, dataran tinggi disebut Geneng, daerah yang terpisah dari Sawo dinamakan Ledok, dan wilayah yang terpisah dengan Klumpit disebut Loran. Selang beberapa tahun kemudian, dari nama Kawedanan dirasa Desa Mojok Rembuk kurang tepat  sehingga diganti namanya dengan Desa Mojorembun dan menjadi bawahan Kademangan Dresi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar