Dari
cerita turun temurun dan ditegaskan dari sumber Kitab Serat Kembang Joyo seorang
Adipati Bumi Perdikan Pati Pesantenan sekitar tahun 1467 M.
Setelah
Kademangan Mojosemi runtuh dan berhasil dikalahkannya pemberontakan Wedana Yuyu
Rumpung dari Kademangan Pamaguan dan menyatunya wilayah brang wetan dan brang
kulon, bersatu dalam wilayah Pati Pesantenan, sedang diwilayah brang wetan
(termasuk wilayah Rembang) dijadikan satu kekuasaan Kadipaten Pati Pesantenan.
Wilayah
yang tadinya brang wetan, setelah tewasnya Yuyu Rumpung menjadi wilayah
Pembesar Kedalon yang bernama Ki Singo Nyidro termasuk juga wilayah yang
dialiri sungai besar yang bernama Sungai Moro Dalon ( muara kedalon)
disepanjang aliran menuju kedalon termasuk wilayah Ki Singo Nyidro.
Kearah
barat laut dari Desa Kedalon ada sebuah desa yang bernama Desa Klori. Di desa
itu hidup seorang janda yang bernama Nyi Ori (terkenal dengan nama Mbok Rondo
Klori). Mbok Rondo Klori sehari – harinya bekerja sebagai pengrajin “Medel” (menter=mewarnai kain). Untuk
menunjang pekerjaan itu, beliau membutuhkan aliran air (sungai) untuk mencuci
pakaian – pakaian yang telah diwarnai sehingga lerak/malam yang menempel pada
kain akan bisa tercuci dengan sempurna.
Setiap
hari Mbok Rondo Klori selalu pergi ke sungai Moro Dalon untuk mencuci hasil
pekerjaannya, hal itu mengundang perhatian Ki Singo Nyidro karena Mbok Rondo
Klori adalah wanita yang berparas cantik. Setiap hari Ki Singo Nyidro selalu
menggoda, sehingga membuat risau hati Mbok Rondo. Dan pada akhirnya diutarakan
hal tersebut kepada kakaknya yang bernama Ki Onggo ( seorang tokoh pemimpin
dari Desa Ronggo) . Karena Ki Onggo dan ki Singo Nyidro berhubungan baik, maka
untuk menghindari percekcokan antara keduanya Mbok Rondo diperintahkan untuk
menemui adiknya yaitu Ki Dresi. Akhirnya tiga bersaudara itu bersepakat untuk membuat
sungai bersama rakyatnya kan bersedia menggali dari hulu.
Dan
mulailah penggalian itu dari hulu ke hilir. Tetapi keanehan terjadi setelah
akan bertemunya hulu dan hilir yaitu trhalang oleh randu besar yang dikenal
dengan nama Randu Gumbala yang bercabang – cabang dan mempunyai pangkal terbagi
– bagi seperti gunting. Pohon randu itu sulit ditebang dan dirobohkan, semua
orang yang ada seakan menyerah terhadap kekuatan pohon randu itu. Dan akhirnya
teringatlah Ki Gede Dresi yang mempunyai seorang sahabat baik yaitu seorang
Empu yang berdiam diri di Desa Sambiyan yang bernama Ki Cengkang Sambiyan.
Ditemuilah Ki Cengkang Sambiyan untuk dimintai tolong menyelesaikan masalah
Randu Gumbala sembari membawa air besalen yaitu air yang digunakan untuk
merendam keris dan tombak saat beliau
membuat hasil – hasil karyanya yaitu
benda – benda pusaka.
Sesampainya
ditempat Randu Gumbala disiramlah pohon raksasa itu dan terjadilah keanehan
yaitu melepuhnya pohon Radu Gumbala dan tumbanglah pohon raksasa itu diirng
oleh jeritan suara – suara di angkasa yang menakutkan. Setelah robohnya pohon
itu dilanjutkan penggalian sehingga bertemulah antara hulu dan hilir yang menjadikan
galian sungai sempurna. Oleh Ki Onggo sungai itu diberi nama Sungai Randu
Gunting, nama itu berdasarkan kejadian yang terjadi yaitu robohnya pohon randu
gunting yang menghalangi penggalian sungai.
Karena
adanya sungai Randu Gunting secara otomatis memisahkan Desa Kedalon dan Desa
Gunung Sari (Klumpit dan Sawo) dengan wilayah sebelah timur sungai. Kurang lebih
100 tahun berlalu, sungai randu gunting menjadi besar dan menyebabkan banjir
bandang yang menggenangi wlayah sekitarnya. Orang orang yang tinggal diwilayah
tersebut mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Setelah banjir surut ada yang
kembali ke wlayah asal dan ada juga yang menetap di tempat yang tinggi tersebut.
Karena wilayah sebelah timur sungai tidak ada yang mengakui, sehingga rakyat
yang berada di tempat itu terbengkalai. Dan pada akhirnya warga – warga yang
berada di tempat itu bermusyawarah, karena
belum mempunyai balai desa maka mereka berkumpul di pojok desa. Dalam
musyawarah tersebut, mereka menamai wilayah itu dengan nama Mojok Rembuk yang
berarti mereka yang berada di pojok untuk berembuk (bermusyawarah). Setelah itu, wilayah yang terpecah itu
disatukan menjadi Desa Mojok Rembuk yang terdiri dari 3 dukuh yaitu, dataran tinggi disebut
Geneng, daerah yang terpisah dari Sawo dinamakan Ledok, dan wilayah yang
terpisah dengan Klumpit disebut Loran. Selang beberapa tahun kemudian, dari
nama Kawedanan dirasa Desa Mojok Rembuk kurang tepat sehingga diganti namanya dengan Desa
Mojorembun dan menjadi bawahan Kademangan Dresi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar